Wednesday, February 23, 2011

Bolehkah Jilbab Berwarna Kuning Atau Yang Lainnya?


jilbabPertanyaan :

Assalaamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ustadz, ada beberapa hal yang ingin ana tanyakan sehubungan dengan busana muslimah :

1.     Bolehkah wanita memakai busana muslimah berwarna selain hitam (tetapi cenderung ke warna gelap,mis : biru tua, coklat, ungu tua )?

2.     Bolehkah wanita memakai busana muslimah yang bermotif,bercorak batik /bordir/renda/payet?

Mohon penjelasan dari Ustadz berkaitan dengan masalah tersebut, Jazakumullahu khoiron



Jawab :

Syaikh Muhammad Ali Farkuus yang berasal dari Algeria pernah ditanya dengan suatu pertanyaan yang ada hubungannya dengan pertanyaan di atas. Maka saya akan menukilkan pertanyaan dan jawaban beliau –hafidzohulloh-.



Pertanyaannya :

Sebagian wanita memakai khimar (tutup kepala/jilbab bagian atas-pent) yang warnanya berbeda dengan warna 'abaa'ah (jilbab bagian bawah-pent), terkadang hal ini menarik perhatian. Apakah boleh memakai jilbab yang warnanya berbeda antara jilbab atasan dan bawahannya? Warna-warna khimar apakah yang manakah yang mungkin dikatakan warna yang disyari'atkan?, semoga Allah membalas kebaikan bagi anda.

Jawaban beliau –hafidzohulloh- :

Segala puji bagi Allah Robbul 'aalamiin, sholawat dan salam kepada Nabi yang diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi semesta alam, dan juga bagi keluarganya dan para sahabatnya hingga hari kiamat.

Yang wajib dalam permasalahan khimar adalah :


 


Pertama : khimar (atasan jilbab) tersebut hendaknya dijulurkan dari atas kepalanya dan dilipat di lehernya, juga menjulurkannya di atas dadanya, sehingga ia menjulurkan jilbabnya dengan menutup kepalanya dan menutup lehernya, kedua telinganya, dadanya dan yang semisalnya, karena Allah berfirman :


وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ


"Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya" (QS An-Nuur : 31)
...





Kedua : Sebagaimana telah diketahui bahwasanya para wanita dan para lelaki sama dalam permasalahan hukum selama tidak ada dalil yang membedakan antara para wanita dan para lelaki dalam hukum. Demikian juga bahwasanya hukum asal dalam warna-warna pakaian adalah halal dan diperbolehkan, kecuali jika ada dalil yang melarang warna-warna tersebut bagi kaum lelaki dan kaum wanita atau ada dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum lelaki atau dalil yang melarang warna-warna tersebut untuk kaum wanita.

Mengenai warna-warna (yang diperbolehkan untuk jilbab para wanita) adalah sebagai berikut :

Adapun warna hitam untuk (jilbab) para wanita maka telah datang dalam hadits Ummu Salamah –radhiallahu 'anhaa- ia berkata

:« لَمَّا نَزَلَتْ ?يُدَنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ? خَرَجَ نِسَاءُ الأنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُؤوسِهِنَّ الْغِرْبَانَ مِنَ الأكْسِيَةِ »

Tatkala turun firman Allah  (Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka) maka keluarlah para wanita dari kaum Anshoor, seakan-akan di atas kepala-kepala mereka ada pakaian seperti burung-burung gagak" (HR Abu Dawud no 4101 dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar'ah Al-Muslimah hal 82)

Ummu Salamah menyamakan kain khimar yang ada di atas kepala-kepala para wanita yang dijadikan jilbab dengan burung-burung gagak dari sisi warna hitamnya.

Dalil lain yang menunjukan akan bolehnya warna hitam bagi para wanita adalah hadits Ummu Kholid, ia berkata



« أُتي النبيُّ بثيابٍ فيها خَميصةُ سوداءُ صغيرةٌ فقال:« مَن تَرَون أن نكسوَ هذهِ »؟ فسكتَ القومُ. قال:« ائتُوني بأمِّ خالدٍ »، فأتيَ بها تُحمل، فأخذ الخميصةَ بيدهِ فألبَسَها وقال: أبْلِي وأخلِقي. وكان فيها عَلمٌ أخضرُ أو أصفر »

Nabi diberikan baju-baju, diantaranya ada khomiisoh kecil yang berwarna hitam. Maka nabipun berkata, "Menurut kalian kepada siapakah kita berikan kain ini?". Orang-orang pada diam, lalu Nabi berkata, "Datangkanlah kepadaku Ummu Kholid !", maka didatangkanlah Ummu Kholid dalam keadaan diangkat (karena masih kanak-kanak, lihat Umdatul Qoori 31/473-pent), lalu Nabipun mengambil kain tersebut dengan tangannya lalu memakaikannya kepada Ummu Kholid dan berkata, "Bajumu sudah usang, gantilah bajumu". Pada kain tersebut ada garis-garis (corak) berwarna hijau atau kuning. (HR Al-Bukhari no 5485, Abu Dawud no 4024, dan Ahmad no 26517)



Adapun warna hijau untuk pakaian para wanita maka telah absah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari bahwasanya Rifa'ah menceraikan istrinya maka istrinyapun dinikahi oleh Abdurrahman bin Az-Zubair Al-Qurozhi. Aisyah radhiallahu 'anhaa berkata, وعليها خِمارٌ أخضر، فشكَتْ إليها، وأرَتها خُضرةً بجلدها..  "Ia memakai khimar berwarna hijau, maka iapun mengadu kepada Aisyah dan memperlihatkan kepada Aisyah adanya warna kehijau-hijauan di kulitnya…." (HR Al-Bukhari no 5487)

Adapun pakaian berwarna merah maka hanya boleh untuk kaum wanita dan tidak boleh bagi kaum lelaki. Dalilnya sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abdullah bin 'Amr radhiallahu 'anhu, ia berkata :




رَأَى النَّبِيُّ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ. فَقَالَ:« أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟ » قُلْتُ: أَغْسِلُهُمَا، قَالَ:« بَلْ احْرِقْهُمَا

Nabi shallahu 'alaihi wa sallam melihatku memakai dua belah baju yang mu'ashfar. Maka Nabi berkata, "Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?". Aku berkata, "Aku cuci kedua baju ini?", Nabi berkata, "Bahkan bakarlah kedua baju itu" (HR Muslim no 5436)



Dan yang dimaksud dengan dua buah baju mu'ashfar adalah dua baju yang dicelup dengan celupan berwarna merah (atau dicelup dengan warna kuning yang terbuat dari tumbuhan tertentu-pent). Imam An-Nawawi berkata tentang sabda Nabi "Apakah ibumu memerintahmu untuk memakai baju ini?" : Maknanya adalah ini termasuk pakaian para wanita, model, dan akhlak mereka" (Syarh Shahih Muslim 14/55), beliau juga berkata : "Adapun perintah Nabi untuk membakar baju tersebut maka –dikatakan- karena sebagai hukuman dan sikap keras terhadapnya dan terhadap orang lain agar meninggalkan perbuatan seperti ini. Hal ini semisal dengan perintah Nabi kepada wanita yang telah melaknat ontanya agar sang wanita melepaskan onta tersebut…"


Dalil yang lain yang menunjukan akan hal ini adalah hadits 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya berkata,


هَبَطْنَا مَعَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وآله وسَلَّم مِنْ ثَنِيَّةٍ فالْتَفَتَ إلَيَّ وَعَليَّ رَيْطَةٌ مُضَرَّجَةٌ بالْعُصْفُرِ فقال: مَا هذِهِ الرَّيْطَةُ عَلَيْكَ؟ فَعَرَفْتُ مَا كَرِهَ، فأَتَيْتُ أهْلِي وَهُمْ يَسْجُرُون تَنُّورًا لَهُمْ فَقَذَفْتُهَا فِيهِ ثُمَّ أتَيْتُهُ مِنَ الْغَدِ، فقال: يَا عَبْدَ اللهِ مَا فَعَلْتَ الرَّيْطَةَ، فأَخْبَرْتُهُ، فقال: ألاَ كَسَوْتَهَا بَعْضَ أهْلِكَ فإنَّهُ لاَ بَأْس بِهِ لِلنِّسَاءِ »

“Kami turun bersama Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dari Tsaniyyah. Kemudian beliau menoleh kepadaku dengan keadaan memakai pakaian lembut yang dicelup dengan ushfur. Maka beliau bertanya: “Apa ini yang engkau pakai?” Maka akupun mengetahui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyukainya. Akupun mendatangi keluargaku dalam keadaan mereka menyalakan api tanur dan aku lemparkan baju itu ke dalamnya. Kemudian aku mendatangi beliau pada besok harinya. Beliau bertanya: “Bagaimana nasib bajumu?” Maka aku ceritakan apa yang aku lakukan pada baju itu. Maka beliau berkata: “Kenapa engkau tidak memakaikan baju itu pada sebagian keluargamu. Karena baju tersebut tidak apa-apa jika dipakai wanita.” (HR. Abu Dawud: 4066, Ibnu Majah: 3603, Ahmad: 6813 dan di-hasan-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud: 4066).


Adapun pakaian berwarna putih maka telah diketahui bersama sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam



الْبِسُوا مِنْ ثِيَابِكُمُ الْبَيَاضَ فإنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكمْ، وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُم

"Pakailah pakaian-pakaian kalian yang berwarna putih, sesungguhnya itu merupakan pakaian kalian yang terbaik, dan hendaknya kalian mengkafani mayat-mayat kalian dengan kain putih" (HR Abu Dawud no 3878, At-Thirmidzi no 944, Ibnu Majah no 1472, Ahmad no 3332, dan hadits ini dishahihkan oleh Ibnul Mulaqqin dalam al-Badr al-Muniir 4/671, Ahmad Syakir dalam tahqiq Musnad Ahmad 5/143, dan Al-Albani dalam Jilbab al-Mar'ah al-Muslimah hal 82)



Demikian juga warna kuning (diperbolehkan) bagi kaum lelaki. Telah abasah dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhumaa ia berkata



وَأَمَّا الصُّفْرَةُ فَإِنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَصْبِغُ بِهَا فَأَنَا أُحِبُّ أَنْ أَصْبغَ ِبهَا

Adapun warna kuning maka aku telah melihat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menyelupkan pakaian ke warna kuning, maka aku suka untuk mencelupkan pakaian dengan warna kuning" (HR Al-Bukhari no 164, Abu Dawud no 1772, Ahmad no 5316). Dan dalam sunan Abu Dawud dari Ibnu Umar beliau berkata وَقَدْ كَانَ يَصْبِغُ بِهَا ثِيَابَهُ كُلَّهَا حَتَّى عِمَامَتَهُ "Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mencelupkan seluruh pakaiannya ke warna kuning, bahkan sorban beliau juga" (HR Abu Dawud no 4064)


Hadits-hadits diatas menunjukan akan bolehnya memakai pakaian berwarna hitam, hijau, dan merah bagi para wanita dengan nash dari Nabi, dan ini juga berlaku bagi kaum lelaki berdasarkan hukum asal yang telah lalu penjelasannya, kecuali warna merah yang khusus bagi para wanita. Adapun warna putih dan kuning maka boleh juga bagi wanita dengan dasar hukum asal yang telah lalu penjelasannya tentang bolehnya menggunakan seluruh warna karena tidak ada dalil yang melarangnya atau mengkhususkannya.

Dan perlu untuk diingatkan bahwasanya warna-warna yang menggoda (menarik perhatian) atau yang menyala (mengkilat) yang dipakai oleh para wanita pemuja nafsu, pengucap kata-kata kotor dan hina, maka warna-warna tersebut menjadi terlarang dari sisi larangan bertasyabbuh dan juga bisa membangkitkan gejolak syahwat. Demikian juga halnya dengan warna-warna pakaian yang khususnya dipakai oleh sebagian jama'ah-jama'ah keagamaan, maka dilarang sengaja mengikuti model dan warna yang merupakan ciri-ciri jama'ah-jama'ah tersebut, karena kawatir akan timbulnya bid'ah dalam agama. Sebagaimana pula dilarang bermodel (bergaya) dengan warna bendera negara tertentu atau group atau perkumpulan tertentu –terutama yang berasal dari negara kafir- karena hal ini akan mengantarkan kepada syirik mahabbah dan ta'dziim, serta penerapan al-walaa wa al-baroo yang bukan pada tempatnya.

(Diterjemahkan dengan bebas dan sedikit perubahan oleh Firanda Andirja dari fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkuus Al-Jazaairi no 992)


Syaikh Al-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :

Apakah boleh seorang wanita menggunakan jilbab selain warna hitam?

Beliau –rahimahullah- menjawab :

"Seakan-akan penanya berkata : Apakah boleh seorang wanita memakai khimar (penutup jilbab bagian atas kepala?) selain berwarna hitam?. Maka jawabannya adalah : Iya, boleh bagi sang wanita untuk memakai khimar yang selain berwarna hitam dengan syarat khimar tersebut tidak seperti gutrohnya lelaki (gutroh adalah kain penutup kepala yang sering digunakan oleh penduduk Arab Saudi-pent). Kalau khimar tersebut seperti gutrohnya lelaki maka hukumnya haram karena Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang meniru-niru kaum wanita dan melaknat para wanita yang menyerupai kaum lelaki. Adapun jika khimarnya berwarna putih akan tetapi wanita tersebut tidak memakainya sebagaimana cara pakai lelaki maka jika penggunaan khimar berwarna putih tersbut merupakan adat penduduk negerinya maka tidak mengapa untuk dipakai. Adapun jika pemakaian khimar putih tidak biasa menurut adat mereka maka tidak boleh dipakai karena hal itu merupakan pakaian syuhroh (ketenaran/tampil beda) yang terlarang" (Fatwa Nuur "alaa Ad-Darb)



Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 03 Dzul Qo'dah 1431 H / 11 Oktober 2010 M

Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja

Artikel: www.firanda.com

Untaian Nasehat Ibnu Taimiyyah 3 : "Bahaya Syahwat Tersembunyi "


Syaikhul Islam berkata, "Kesyirikan mendominasi jiwa manusia, sebagaimana disebutkan dalam hadits وَهُوَ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ "Kesyirikan pada umat ini lebih samar daripada rayapan semut", dan dalam hadits yang lain "Abu Bakar berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ . كَيْفَ نَنْجُو مِنْهُ وَهُوَ أَخْفَى مِنْ دَبِيبِ النَّمْلِ ؟
"Wahai Rasulullah, bagaimana kita bisa selamat dari kesyirikan sementara ia lebih samar dari rayapan semut?".
Maka Nabi –sallallahu 'alaihi wa sallama-  berkata kepada Abu Bakar


أَلَا أُعَلِّمُكَ كَلِمَةً إذَا قُلْتَهَا نَجَوْتَ مِنْ دِقِّهِ وَجِلِّهِ ؟ قُلْ : اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
Maukah aku ajarkan kepadamu sebuah kalimat yang jika engkau mengucapkannya maka engkau akan selamat dari kesyirikan baik yang kecil maupun yang besar?, katakanlah, "Yaa Allah aku berlindung kepada Engkau dari perbuatan syirik kepadamu yang aku mengetahuinya dan aku memohon ampun kepadaMu dari kesyirikan yang tidak aku ketahui"


Umar senantiasa berkata dalam doanya,


اللَّهُمَّ اجْعَلْ عَمَلِي كُلَّهُ صَالِحًا وَاجْعَلْهُ لِوَجْهِكَ خَالِصًا وَلَا تَجْعَلْ لِأَحَدٍ فِيهِ شَيْئًا
"Yaa Allah jadikanlah seluruh amalanku ikhlas untuk wajahMu, dan janganlah jadikan sedikitpun amalanku untuk seorangpun"



 


Sering sekali syahwat khofiyyah (syahwat tersembunyi) mengotori jiwa sehingga merusak perealisasian jiwa terhadap peribadatan dan kecintaan terhadap Allah dan pengikhlasan agama kepada Allah, hal ini sebagaimana disinyalir oleh Syaddad bin Aus –rahimahulloh-, beliau berkata


 


يَا بَقَايَا الْعَرَبِ إنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ الرِّيَاءُ وَالشَّهْوَةُ الْخَفِيَّةُ
"Wahai kaum Arab yang masih tersisa, sesungguhnya yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah riyaa' dan syahwat khofiyyah"


Abu Dawud As-Sajistaani pernah ditanya, "Apakah itu syahwat tersembunyi?", beliau berkata, حُبُّ الرِّئَاسَةِ "Senang kepemimpinan".
Dari Ka'ab bin Malik bahwa  Nabi –sallallahu 'alaihi wa sallam- bersabda,


مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي زَرِيبَةِ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ



"Kerusakan yang timbul di kandang kambing akibat diepaskannya dua ekor serigala yang dalam keadaan lapar tidaklah lebih parah daripada kerusakan yang timbul terhadap agama seseorang akibat semangatnya untuk mencari harta dan kedudukan" Imam At-Thirmidzi berkata, "Hadits ini hadits hasan shahih"



Nabi –shallallahu 'alaihi wa sallam- menjelaskan bahwasanya kerusakan pada agama seseorang yang semangat untuk mencari harta dan kedukukan tidak kurang dari kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala yang lapar yang dilepas di kandang kambing. Dan hal ini tentu sudah jelas, karena sesungguhnya agama yang lurus tidak akan termasuki semangat mencari harta dan kedudukan. Karena hati jika telah merasakan manisnya peribadatan kepada Allah dan indahnya kecintaan kepada Allah maka tidak ada sesuatupun yang lebih dicintainya daripada hal itu, apalagi sampai mendahulukan sesuatu diatas hal itu.
Karena hal ini maka orang yang ikhlas akan dipalingkan oleh Allah dari keburukan dan perbuatan keji sebagaimana firman Allah


كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas (QS 12:24).


Sesungguhnya orang yang ikhlash kepada Allah telah merasakan manisnya peribadatan kepada Allah sehingga mencegahnya untuk menyerahkan peribadatan kepada selain Allah. Manisnya cinta kepada Allah yang dirasakannya mencegahnya untuk mencintai selain Allah, karena pada hatinya tidak ada yang lebih manis dan lebih lezat, lebih baik, lebih lembut, dan lebih nikmat daripada manisnya iman yang mengandung peribadatan kepada Allah, kecintaan dan keikhlasan kepadaNya. Hal ini melazimkan tertariknya hati kepada Allah, maka jadilah hati selalu kembali kepada Allah, disertai rasa khouf dan roghbah dah rohbah kepadaNya. Hal ini sebagaimana firman Allah


مَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَ بِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍ
(yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan Dia datang dengan hati yang bertaubat, (QS 50 :33)



Karena seseorang yang mencintai sesuatu maka dia kawatir akan kehilangan apa yang dicintainya dan  datangnya perkara yang dibencinya. Maka jadilah dia seorang hamba Allah dan pecintaNya yang berada diantara khouf dan rojaa'. Allah berfirman


أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; Sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. (QS 17:57)


 


Jika seorang hamba ikhlash kepada Allah maka Allah akan memilihnya lalu Allah akan hidupkan hatinya dan menarik hatinya, lalu Allah akan memalingkan dari hatinya semua yang bertentangan dengan pemilihan Allah ini, Allah akan memalingkan hatinya dari keburukan dan kekejian, dan sang hambapun kawatir akan timbulnya hal-hal yang buruk.


Hal ini berbeda dengan hati yang tidak ikhlas kepada Allah, maka ia selalu dalam pencarian, kehendak, dan kecintaan yang tidak jelas dan terkendali. Maka ia akan menghendaki apa yang mendatanginya dan ia akan berpegang teguh dengan apa saja yang diinginkan oleh hawa nafsunya sebagaimana ranting pohon kalau dilewati oleh hembusan angin apa saja maka akan menggoyangkannya mengikuti arah angin tersebut. Maka terkadang hatinya terpikat oleh gambar-gambar dan bentuk-bentuk yang haram dan juga yang tidak haram. Maka jadilah ia tawanan dan budak kepada dzat yang kalau seandainya dzat tersebut ia jadikan budaknya maka itu merupakan suatu kekurangan dan tercela (bagaimana lagi jika dia yang menjadi budak dzat tersebut?-pen).
Terkadang hatinya terpikat oleh kedudukan dan kepamimpinan, akhirnya ia bisa ridho karena sebuah kalimat dan juga bisa marah karena sebuah kalimat. Ia menjadi budak orang yang memujinya, meskipun dengan pujian yang batil, dan dia akan memusuhi orang yang memusuhinya meskipun musuhnya tersebut di atas kebenaran. Terkadang ia diperbudak oleh dirham dan dinar, dan demikian juga perkara-perkara yang lain yang semisalnya yang bisa memperbudak hati-hati manusia, dan ternyata memang hati-hati manusia menyukai perkara-perkara tersebut. Maka jadilah ia menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya, dan dia mengikuti hawa nafsunya tanpa ada petunjuk dari Allah.


Barangsiapa yang tidak ikhlas kepada Allah dan tidak menjadi hamba Allah, tidak menjadikan hatinya menyembah Allah saja tanpa syarikat dimana Allahlah yang paling ia cintai dari segala sesuatu, sehingga hatinya menjadi rendah, hina, dan tunduk dihadapan Allah, -barangsiapa yang tidak demikian- maka ia akan menjadi budak benda-benda yang ada, dan syaitan akan menguasai hatinya, sehingga ia termasuk orang-orang yang disesatkan syaitan dan menjadi saudara-saudara syaitan. Maka jadilah hatinya terpenuhi dengan keburukan dan kekejian yang sangat banyak yang tidak mengetahui hakekatnya kecuali Allah.


Ini merupakan perkara yang pasti terjadi dan tidak bisa dihindarkan. Jika hati tidak condong dan berjalan menuju Allah, dalam kondisi berpaling dari selain Allah, jika tidak demikian maka akan terjerumus dalam kesyirikan" (Majmuu' al-Fataawaa 10/215-217)



Sungguh nasehat emas Ibnu Taimiyyah –rahimahullah- di atas mengingatkan kita kepada bahayanya syahwat tersembunyi, yang sering menghinggapi kita tanpa kita sadari. Karenanya dinamakan dengan syahwat yang samar dan tersembunyi. Bagaimana bisa kita menyadarinya sementara kesamarannya lebih samar daripada rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam. Tidak seorangpun yang bisa merasakan bahwa dirinya dihinggapi syahwat ini kecuali orang yang diberi bashiroh (petunjuk) dari Allah.


Ada beberapa faedah yang bisa diambil dari nasehat di atas;
Pertama : Ternyata seorang sekelas Abu Bakar As-Shiddiq juga kawatir terjerumus dalam syahwat yang tersembunyi ini. Padahal kita tahu bahwasanya beliau telah dijamin masuk surga dan bagaimana tingkat keimanan beliau yang sangat tinggi. Oleh karenanya sungguh berbahagia orang yang selalu memperhatikan gerak-gerik hatinya, selalu mengecek apakah niatnya sudah lurus atau belum, karena orang yang seperti inilah yang sadar akan bahayanya syahwat yang tersembunyi. Adapun orang yang tidak pernah mengecek gerak-gerik hatinya, tidak pernah meneliti perubahan di hatinya bagaimana mungkin dia akan tahu bahwasanya hatinya sedang terjangkit syahwat tersembunyi ini atau tidak.
Kedua : Syahwat tersembunyi yang ditafsirkan dengan "cinta kepemimpinan dan cinta kedudukan (terpandang di masyarakat)" ternyata sangat berbahaya dalam merusak agama seseorang. Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kerusakannya lebih parah daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh dua ekor serigala.
Perhatikanlah kembali lafal hadits nabi tentang serigala


مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي زَرِيبَةِ غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ
"Kerusakan yang timbul di kandang kambing akibat diepaskannya dua ekor serigala yang dalam keadaan lapar tidaklah lebih parah daripada kerusakan yang timbul terhadap agama seseorang akibat semangatnya untuk mencari harta dan kedudukan"


Kita dapat merasakan kerusakan yang ditimbulkan serigala tersebut pada poin-poin berikut ini:



  • Serigala adalah binatang buas, jika tidak dalam keadaan laparpun ia sudah buas, bagaiamana lagi jika dalam keadaan lapar?, tentunya semakin lapar akan semakin buas.




  • Rasulullah tidak menyebutkan seekor serigala, akan tetapi beliau menyebutkan dua ekor serigala. Jika seekor serigala saja sudah merusak bagaimana lagi jika dua ekor serigala yang dalam keadaan lapar



  • Kambing-kambing yang didatangi serigala terdapat dalam kandang, tentunya kambing-kambing tersebut tidak bisa lari menyelamatkan diri dari dua ekor serigala buas tersebut.


Oleh karenanya tidak diragukan lagi kerusakan yang diakibatkan oleh dua ekor serigala tersebut, tentunya tubuh kambing-kambing tersebut akan tercabik-cabik oleh keganasan dua ekor serigala buas tersebut. Namun ternyata kerusakan ini tidaklah lebih parah daripada kerusakan dan tercabik-cabiknya agama seseorang yang diakibatkan oleh syahwat tersembunyi yang menjangkitinya. Bagaimana tidak?, agama seseorang yang dia sangka telah dia bangun di atas bangunan megah ternyata hancur lebur seperti debu yang beterbangan hanya karena adanya syahwat tersembunyi ini, tidak ada nilainya di sisi Allah.


Betapa banyak orang yang setelah banyak beramal merasa dirinya lebih hebat dari yang lainnya, sehingga akhirnya merasa bahwa perkataannya dan pendapatnyalah yang harus didengar dan diikuti, merasa bahwa dirinyalah yang pantas untuk dijadikan panutan. Merasa dirinyalah yang pantas untuk menjadi pemimpin??!! Merasa geram dan marah jika ada pendapatnya diselisihi, bukan karena diselisihinya al-haq(kebenaran), akan tetapi karena merasa perkatannya tidak diikuti dan tidak didengar?, merasa ada yang mendahuluinya dan berani membangkangnya?...inilah syahwat khofiyyah. Betapa banyak orang yang marah karena merasa perkataan mereka dilanggar –bukan karena syari'at yang dilanggar- namun mereka membungkus syahwat khofiyyah ini dengan label syari'at, seakan-akan kemarahan mereka dikarenakan pelanggaran syari'at, seakan-akan mereka marah karena Allah. Namun ternyata kemarahan mereka adalah karena syahwat khofiyyah. Wallahul musta'aan
Ketiga : Diantara faedah yang luar biasa dari keikhlasan adalah Allah menjaga orang yang ikhlas dari fitnah syahwat. Allah berfirman,


كَذَلِكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِينَ
Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang ikhlas (QS 12:24).


Ada dua qiro'ah dari lafal (الْمُخْلَصِينَ),
Pertama : Dengan memfathahkan huruf lam (المخلَصين) yang artinya Nabi Yusuf termasuk hamba-hamba yang dipilih oleh Allah.
Kedua : Dengan mengkasrohkan huruf laam (المخلِصين) yang artinya Nabi Yusuf –alaihis salaam- termasuk hamba-hamba Allah yang ikhlash (lihat penjelasan As-Syaukani dalam fathul qodiir dan juga As-Syinqiithi dalam adwaaul bayaan).
Akan tetapi dua tafsiran ini tidak bertentangan bahkan saling berkaitan yaitu orang yang ikhlas kepada Allah maka dia akan dipilih oleh Allah sehingga dijaga oleh Allah dari segala perbuatan keji dan keburukan. Hal ini sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyyah diatas "Jika seorang hamba ikhlash kepada Allah maka Allah akan memilihnya lalu Allah akan hidupkan hatinya dan menarik hatinya, lalu Allah akan memalingkan dari hatinya semua yang bertentangan dengan pemilihan Allah ini, Allah akan memalingkan hatinya dari keburukan dan kekejian"



Sesungguhnya keikhlasan akan membuahkan rasa manisnya iman dan lezatnya peribadatan kepada Allah, oleh karenanya orang yang ikhlas tidak akan mencari kelezatan dan kenikmatan pada perkara-perkara yang dibenci oleh Allah, dan dia tidak akan mau meninggalkan kelezatan iman and ikhlas yang dirasakannya, maka dia tidak akan membiarkan dirinya terjangkiti oleh syahwat khofiyyah.


 


Disusun oleh Abu Abdil Muhsin Firanda Andirja


Artikel: www.firanda.com